Skip to main content

Mengapa Guru harus Menulis

Mengapa Guru Harus Menulis
Oleh M. Rahayu
Menulis merupakan sebuah kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dari sosok yang namanya guru. Namun, dalam hal ini kegiatan menulis yang dimaksud bukanlah menulis seperti biasanya dalam kegiatan sehari-hari. Menulis yang dimaksud di sini adalah menulis yang memiliki nilai plus, menulis yang menghasilkan sebuah karya. Baik itu menulis yang berupa fiksi maupun non fiksi.
Mengapa seorang guru harus menulis, tentu setiap guru akan memiliki alasan yang berbeda-beda. Termasuk saya sendiri. Sebagai seorang guru, mengapa saya harus menulis? 
Saya harus menulis karena saya ingin menjadi seorang guru yang memiliki nilai plus yang selalu dikenang sepanjang masa oleh siswa, teman-teman sejawat, masyarakat, bahkan anak cucu . Saya ingin dikenang melalui  karya-karya dari hasil menulis. Saya tidak ingin dianggap sebagai guru yang biasa saja, guru yang bisanya hanya mengajar siswa. Saya ingin dikenang oleh generasi yang akan datang bahwa seorang guru dapat melakukan hal yang lain selain mengajar, yaitu menulis.
Bagi saya, tulisan adalah kenangan yang bersifat abadi dan tidak mudah terlupakan. Saya ingin masyarakat mengenang saya dengan tulisan-tulian yang saya hasilkan. Karena pada umumnya, tulisan sebagai hasil penuangan ide atau gagasan yang muncul dari pengalaman pribadi, sesuai suasana  hati yang  dirasakan. Pengalaman-pengalaman yang berkesan, istimewa, dan dasyat tersebut akan  menjadi sebuah kenangan yang abadi jika dikemas dalam bentuk tulisan. Semua kenangan yang dialami oleh seseorang tidak mungkin selalu dapat dikenang. Dengan bertambahnya waktu maka daya ingat seseorang akan berkurang. Kenangan itupun lama kelamaan akan terhapus pada dirinya. Tinggal kenangan yang dijalani saati itu yang bisa diingat. Sangat disayangkan kalau kenangan yang penuh dengan kedasyatan itu tenggelam dan hilang begitu saja. Tanpa ada bekas sama sekali. Anak cucu tidak bisa mengetahui tentang kenangan tersebut.

Seseorang tidak mungkin akan dapat menyimpan kenangan pada otaknya selamanya. Otak juga akan mengalami kejenuhan pada saatnya. Saat otak tidak mampu lagi maka dengan sendirinya kenangan akan terhapus sedikit demi sedikit. Lama kelamaan otak pun tidak mampu membendung. Dan akhirnya hilang apa yang menjadi kenangan yang penuh dengan kedasyatan itu.

Lain halnya jika kenangan itu sempat dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu akan tersimpan dan dapat dibaca oleh orang lain sampai entah ke generasi berapa. Tulisan tersebut akan menjadi bukti nyata hasil ide atau gagasan kita. Ide atau gagasan tersebut dapat dinikmati oleh orang lain, karena ditulis dalam sebuah tulisan. Jika kita yang mempunyai ide atau gagasan tersebut telah tiada namun ide dan gagasan tersebut masih akan tetap hidup. Tidak akan termakan oleh lekangnya waktu. Semakin bertambah tahun tulisan itu bisa menjadi hal yang unik karena adanya perubahan zaman. Biarpun kita sebagai pemilik  ide dan gagasan telah tiada namun ide dan gagasannya menjadi unik dan diketahui orang lain pada zaman yang berbeda. Orang lain tidak kenal kita, sosok yang mempunyai ide namun kenal ide dan gagasan kita. Nama kita menjadi dikenal biarpun kita, sosok orang yang seperti apa tidak diketahui.

Comments

Popular posts from this blog

Puisi "Maafkan Aku"

Maafkan Aku Karya: M. Rahayu Maafkan aku, Selama bersamamu Aku belum mampu  Menjadi pena hitam Dalam lembaran hidupmu Mengukir kebahagiaan Menghadirkan senyum di wajahmu Apalagi tawa di bibirmu Maafkan aku, Selama bersamamu Aku  hanya pena merah Selalu membuatmu marah Memberi goresan luka Rasa sakit yang menghimpit Perih mengiris hati Di sepanjang hidupmu Maafkan aku, Segala daya upaya Sudah ku coba Untuk memahamkan diri Agar aku mengerti Sebagai diri yang berarti Dan menjadi yang kau ingin Sragen, 22 Juni 2020

Purnama

Purnama Senja mulai beranjak pergi Menyelinap di balik gelapnya malam  Aku beranjak dari tempat duduk Melangkahkan kaki Menuju pintu jendela Perlahan ku buka pintu  Hembusan angin malam Langsung menyeruak masuk Mulai menyapa kulit Dan membelai rambutku  Yang mengurai di bahu Sesekali ku gosokkan kedua tangan Untuk mengusir dingin yang kian mengusik Aku berdiri menatap langit Menanti hadirnya sang rembulan  Di malam bulan purnama Untuk mengurai kegelapan Yang menyelimuti hati Aku terus menghitung waktu Hingga malam semakin larut Namun rembulan tak jua datang Masih enggan menyinari bumi Sragen, 6 Okt 22  

Gelisah

Gelisah M. Rahayu Hidup dalam pusaran gelisah Kecemasan dan kekhawatiran Mengusik ketenangan hati Seakan tak ada lagi tempat bersandar Tumpuan dan pegangan hidup  telah patah Saat hidup dalam belenggu Kebebasan dikebiri Bagai burung dalam sangkar besi Riuh berita kematian Berkumandang di masjid-masjid Bertebaran di media sosial dan grup Suara sirine ambulan mengiang di telinga Menyiutkan nyali yang mendengar Kematian seolah di ujung penantian Bisa datang kapan saja Tanpa memilih waktu dan tempat Tanpa memandang batas usia Sragen, 8 Juli 2021